Selasa, 16 Maret 2010

Assalamualaikum..... ^_^

Balada Ibnu Sabil di Negeri Srikandi Renta Pasir Parangtritis

Semilir angin mulai melambai diantara rerimbunan ladang padi yang kian ranum dan membisikkan kerinduan akan kampung tercinta di telingaku.

Senja pun kian menutup peraduan sang raja siang yang mulai berganti dengan desiran angin menggiring datangnya sang bulan. Alam mulai menyapih burung-burung senja di atas rayaun pohon kelapa.

Orang-orangan sawah mulai merunduk seolah hendak merebahkan lengan letihnya yang sudah seharian penuh bekerja. Suasana segar dan sejuk serta bau pedesaan sangat kental tercium hingga membuat hati tergetar. Ia, aku ingat. Suasana ini adalah suasana yang pertama kali aku rasakan sejak sepuluh tahun yang lalu, ketika aku terakhir kalinya berada disini.

Terlihat di sekeliling area persawaan, orang-orang berbondong-bondong pergi menuju surau dan ada pula dengan sabarnya menunggu di pelataran rumah sesekali mencoba mendengarkan bunyi radio tua untuk menanti seruan panggilan adzan sebagai bentuk tanda berbuka puasa.

Aku masih setia dengan perlahan menunggangi kuda jepang meskipun waktu berbuka hampir tiba, tidak ada yang dapat mengalahkan rasa rinduku untuk segera tiba ditempat yang kunanti. Tak berapa lama kemudian akhirnya aku tiba di tempat yang aku tuju.

Ketika langkah ini mulai meraba dinginnya semilir angin malam. Terlihat sebuah rumah berukuran mini yang terbuat dari anyaman bambu dan tergantung hanya seutas lampu listrik 5 Watt di depan rumah tersebut. Aku mulai memandangi lingkungan sekeliling rumah tersebut, semuanya terhias dengan rapi dan memiliki penerangan yang sesuai. Namun, hanya rumah itu yang benar-benar tertinggal diantara sekian banyak rumah yang ada di sekitarnya.

Perlahan, langkah kaki ini mulai mendekati rumah yang terlihat sepi dan tak berpenghuni tersebut. Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu dan akhirnya aku dipersilahkan masuk oleh seorang nenek renta yang tinggal dirumah itu sendiri.

Kupandangi sekelilingku, betapa mirisnya hatiku melihat keadaan yang seperti ini. Betapa khilafnya aku selama ini membiarkan orang tua tinggal sendiri dengan keadaan serba kekurangan sedangkan diriku telah dipenuhi dengan kemewahan dan tercukupinya segala kebutuhan. Namun, di sisi lain aku masih bisa bersyukur ternyata Allah masih memberiku kesempatan untuk mendapat penghidupan yang layak.

Aku memberanikan diri membuka tudung saji makanan di atas meja yang letaknya tidak jauh dari tempat dudukku sebelumnya, sungguh memprihatinkan, tidak ada makanan di atas sana, jangankan untuk makan, piring pun beliau tak punya, terkadang hanya tetangga yang sesekali memberi makan beliau. Setelah itu aku beranikan diri untuk membuka tempat penyimpanan beras beliau dan di sana pun tidak pula aku menemukan satu biji pun beras.

Rasa prihatin melihat keadaan ini terus melekat dalam pikiranku. Segera setelah melihat ini semua, tanpa pikir panjang lagi, separuh dari uang yang akan kugunakan untuk mudik ke Kalimantan digunakan untuk membelikan beras dan bahan makanan serta mengganti bola lampu dan menambah penerangan di rumah itu agar menjadi lebih terang pada malam hari. Mungkin hanya ini yang dapat aku berikan sebagai tanda berterimakasihku kepada seorang ibu yang telah melahirkan sosok seorang pemimpin terbaik bagiku seperti ayah.

Terpikir dalam benak hati ini:

“Inikah gambaran orang tua yang ditinggal merantau oleh anak-anaknya?”

Malam itu kuhabiskan waktu untuk berbincang-bincang bersama beliau dengan ditemani oleh sepupuku. Dari percakapan itu aku mulai menangkap maksud dan keinginan beliau yang terpendam sekian puluh tahun untuk dapat merayakan hari lebaran bersama anak-anak dan cucu-cucu tercinta beliau. Beliau tak habis-habisnya merenung dan membayangkan bertemu dengan anak-anak beliau yang satu per satu pergi merantau.

Sungguh ironis hal ini, di saat usia senja seperti itu, di saat beliau menikmati waktu senja, beliau tak dapat mewujudkan keinginannya. Seiring bergulirnya waktu, kini beliau sedikit terhibur dengan datangnya salah satu anak beliau yang menetap di desa yang sama serta semakin mudahnya sitem jaringan komunikasi saat ini.

Kulihat wajah kerinduan tersirat di wajah beliau, tak pernah putus harapan untuk menanti kedatangan anak-anak tercinta dan kembali berkumpul bersama pada lebaran tahun ini. Namun, untuk kesekian kalinya pula beliau harus merayakan hari lebaran seorang diri ditengah derasnya gemuruh angin yang menerbangkan pasir Parangtritis.

Masih banyak lagi keadaan-keadaan yang lebih menyedihkan, masih beribu-ribu orang-orang tua yang sudah renta menantikan kedatangan anak cucu mereka tanpa kepastian, tinggal sendiri bahkan dicampakkan oleh keluarganya.

Keesokan harinya kucoba menyejukkan pikiran ini dengan menyusuri keindahan sawah yang mulai menguning dan siap untuk dipanen. Namun, pemandangan itu agak sedikit mengalihkan duniaku, betapa tidak, hampir semua ladang dan area persawahan dipenuhi oleh para ksatria renta yang sudah rapuh dimakan usia bahkan para buruh angkutnya pun adalah para srikandi yang sudah terlihat kian membungkuk dan sepuh. Lantas, dimanakah para pemuda-pemudi desa?? Dimanakah peran pemuda dalam proses pembangunan desa?? Apakah ini potret gambaran kehidupan masyarakat desa?? Sungguh ini fenomena yang menyedihkan dan terjadi di sekitar kita. Inilah fakta yang terjadi di Negara Indonesia pada saat ini.

Sedangkan pemuda-pemudi desa sebagai penerus yang diharapkan untuk dapat melanjutkan tradisi budaya, kehidupan bermasyarakat di desa, lebih sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat bahkan lebih banyak yang memilih untuk merantau ke Jakarta yang notabene merupakan kota yang penuh perantau dengan tujuan ingin memperbaiki dan memperoleh penghidupan yang layak, namun kenyataannya tidak semua berjalan dengan mulus, tetapi berakibat pada tindak kriminalitas yang semakin tinggi. Bahkan tak kalah banyaknya pula yang lebih memilih menjadi TKI maupun TKW di negara orang meskipun kita telah mengetahui gambaran dari nasib-nasib mereka di negeri orang.

Maka dari itu, kita sebagai pemuda-pemudi Indonesia, semoga dengan pengalaman yang saya alami ini dapat menjadi gambaran dan potret sosial sebagai media cermin kehidupan kita agar menjadi diri yang lebih baik dan menghormati orang tua, karena suatu negara maju akan tercipta jika para pamuda dan pemudinya berbakti kepada orang tua.

2 komentar:

  1. hehehehe... Asyik juga ya.... Mengenal Dunia Maya Lebih Jauh... Subhanallah... Terima KAsih Allah.... I LOve You ^_^

    BalasHapus