Rabu, 17 Maret 2010

Sepijak Kenangan Lebaran

Kalimantan Berkabut

Di

Hari Kemenangan

Setiap musim kemarau pasti terjadi kabut. Itulah yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah terkhusus pada daerah Palangkaraya dan sekitarnya. Tak bosan-bosannya siaran berita memberitahukan bahwa telah terjadi kebakaran hutan besar-besaran di Kalimantan Tengah. Namun, dilihat dari aspek asbabul nudzulnya kabut yang menyelimuti daerah ini kita tidak dapat menyalahkan siapapun, meskipun itu pembakar hutan, masyarakat maupun pemerintah. Hal ini dikarenakan mengakarnya tradisi bakar hutan setiap tahun di musim kemarau oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak saja, namun yang terpenting adalah usaha kita untuk mencegah agar api yang membakar hutan tidak semakin meluas yang berdampak pada kerugian seluruh aspek kehidupan.

Fenomena yang terjadi sebenarnya dapat dirubah sedikit demi sedikit, mulai dari kesadaran masyarakat yang ditunjang dengan antisipasi pemerintah secara rutin dan berkala serta sanksi hukum yang tegas dan transparan.

Suasana lebaran sungguh sangat terganggu, bagaimana tidak, jika setelah selesai sholat Ied hingga beberapa hari setelahnya, masyarakat sibuk untuk saling silaturahmi dan saling bermaafan, akan tetapi yang terjadi di daerah pinggiran hutan seperti yang terjadi di Palangkaraya sungguh berbeda. Hampir setiap saat masyarakat harus selalu siap siaga untuk memadamkan api yang mengelilingi rumah mereka.

Banyak pula masyarakat yang menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bahkan tercatat pada bulan Agustus 2009 mencapai angka sepuluh ribu penderita ISPA yang di rawat di rumah sakit umum Dorris sylvanus. Penerbangan dari Bandara Tjilik Riwut bahkan mati total. Akan tetapi, selain dampak negatif dari kebakaran hutan tersebut ada pula dampak positif dari kabut yang menyebabkan jarak pandang terjauh hanya sekitar 20 meter.

Bagi orang-orang berotak bisnis yang melihat kerusakan alam ini mencoba untuk memanfaatkan keadaan tersebut dengan membuka bisnis penjualan masker. Bahkan omset pemasukan memperoleh berpuluh-puluh kali lipat dari penjualan biasa. Namun, keuntungan itu hanya untuk orang-orang tertentu sedangkan bagi masyarakat pada umumnya kejadian ini merupakan hal terburuk setiap tahunnya.

Seperti hasil percakapan singkat saya dengan beberapa orang warga yang berada di daerah rawan kebakaran hutan, dapat disimpulkan sementara bahwa penyebab penyebarluasan kebakaran hutan tersebut diawali dengan pembakaran lahan gambut akan tetapi dibiarkan tanpa ada pengawasan lebih lanjut sehingga api yang menyebar semakin luas dan terjadilah ratusan bahkan ribuan titik api yang meluluhlantakkan hutan gambut yang ada di daerah tersebut.

Masyarakat yang berada disekitar lingkungan rawan terbakar seolah menganggap terbakarnya hutan merupakan agenda tahunan yang pasti terjadi. Sehingga mereka dengan tenangnya menanggapi terbakarnya hutan tersebut, mereka baru berusaha memadamkan api jika api tersebut mulai mendekati rumah-rumah warga. Sedangkan apabila api masih berada jauh dari area perumahan mereka cenderung hanya menjadi penonton. Pemadam kebakaran pun tak mampu memadamkan api yang membara dikarenakan daerah yang terbakar berada jauh di pelosok hutan yang tidak dapat dijangkau oleh mobil pemadam. Padahal jauh-jauh hari pemerintah telah memberlakukan undang-undang yang melarang pembakaran hutan serta sanksi tegas pada para pelaku. Namun hingga kini tak ada realisasi yang nyata dari pemberlakuan undang-undang tersebut.

Jika pemikiran masyarakat yang menganggap bahwa kebakaran hutan merupakan agenda rutin tahunan, maka apa yang akan terjadi beberapa tahun kemudian??? Akankah Kalimantan masih diunggulkan dan dielu-elukan sebagai Paru-paru dunia??

Sudah saatnya, mulai dari sekarang kita tanamkan pola sikap cinta lingkungan dan menjaga kelestarian alam, baik untuk sekarang maupun yang akan datang.

Selasa, 16 Maret 2010

Assalamualaikum..... ^_^

Balada Ibnu Sabil di Negeri Srikandi Renta Pasir Parangtritis

Semilir angin mulai melambai diantara rerimbunan ladang padi yang kian ranum dan membisikkan kerinduan akan kampung tercinta di telingaku.

Senja pun kian menutup peraduan sang raja siang yang mulai berganti dengan desiran angin menggiring datangnya sang bulan. Alam mulai menyapih burung-burung senja di atas rayaun pohon kelapa.

Orang-orangan sawah mulai merunduk seolah hendak merebahkan lengan letihnya yang sudah seharian penuh bekerja. Suasana segar dan sejuk serta bau pedesaan sangat kental tercium hingga membuat hati tergetar. Ia, aku ingat. Suasana ini adalah suasana yang pertama kali aku rasakan sejak sepuluh tahun yang lalu, ketika aku terakhir kalinya berada disini.

Terlihat di sekeliling area persawaan, orang-orang berbondong-bondong pergi menuju surau dan ada pula dengan sabarnya menunggu di pelataran rumah sesekali mencoba mendengarkan bunyi radio tua untuk menanti seruan panggilan adzan sebagai bentuk tanda berbuka puasa.

Aku masih setia dengan perlahan menunggangi kuda jepang meskipun waktu berbuka hampir tiba, tidak ada yang dapat mengalahkan rasa rinduku untuk segera tiba ditempat yang kunanti. Tak berapa lama kemudian akhirnya aku tiba di tempat yang aku tuju.

Ketika langkah ini mulai meraba dinginnya semilir angin malam. Terlihat sebuah rumah berukuran mini yang terbuat dari anyaman bambu dan tergantung hanya seutas lampu listrik 5 Watt di depan rumah tersebut. Aku mulai memandangi lingkungan sekeliling rumah tersebut, semuanya terhias dengan rapi dan memiliki penerangan yang sesuai. Namun, hanya rumah itu yang benar-benar tertinggal diantara sekian banyak rumah yang ada di sekitarnya.

Perlahan, langkah kaki ini mulai mendekati rumah yang terlihat sepi dan tak berpenghuni tersebut. Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu dan akhirnya aku dipersilahkan masuk oleh seorang nenek renta yang tinggal dirumah itu sendiri.

Kupandangi sekelilingku, betapa mirisnya hatiku melihat keadaan yang seperti ini. Betapa khilafnya aku selama ini membiarkan orang tua tinggal sendiri dengan keadaan serba kekurangan sedangkan diriku telah dipenuhi dengan kemewahan dan tercukupinya segala kebutuhan. Namun, di sisi lain aku masih bisa bersyukur ternyata Allah masih memberiku kesempatan untuk mendapat penghidupan yang layak.

Aku memberanikan diri membuka tudung saji makanan di atas meja yang letaknya tidak jauh dari tempat dudukku sebelumnya, sungguh memprihatinkan, tidak ada makanan di atas sana, jangankan untuk makan, piring pun beliau tak punya, terkadang hanya tetangga yang sesekali memberi makan beliau. Setelah itu aku beranikan diri untuk membuka tempat penyimpanan beras beliau dan di sana pun tidak pula aku menemukan satu biji pun beras.

Rasa prihatin melihat keadaan ini terus melekat dalam pikiranku. Segera setelah melihat ini semua, tanpa pikir panjang lagi, separuh dari uang yang akan kugunakan untuk mudik ke Kalimantan digunakan untuk membelikan beras dan bahan makanan serta mengganti bola lampu dan menambah penerangan di rumah itu agar menjadi lebih terang pada malam hari. Mungkin hanya ini yang dapat aku berikan sebagai tanda berterimakasihku kepada seorang ibu yang telah melahirkan sosok seorang pemimpin terbaik bagiku seperti ayah.

Terpikir dalam benak hati ini:

“Inikah gambaran orang tua yang ditinggal merantau oleh anak-anaknya?”

Malam itu kuhabiskan waktu untuk berbincang-bincang bersama beliau dengan ditemani oleh sepupuku. Dari percakapan itu aku mulai menangkap maksud dan keinginan beliau yang terpendam sekian puluh tahun untuk dapat merayakan hari lebaran bersama anak-anak dan cucu-cucu tercinta beliau. Beliau tak habis-habisnya merenung dan membayangkan bertemu dengan anak-anak beliau yang satu per satu pergi merantau.

Sungguh ironis hal ini, di saat usia senja seperti itu, di saat beliau menikmati waktu senja, beliau tak dapat mewujudkan keinginannya. Seiring bergulirnya waktu, kini beliau sedikit terhibur dengan datangnya salah satu anak beliau yang menetap di desa yang sama serta semakin mudahnya sitem jaringan komunikasi saat ini.

Kulihat wajah kerinduan tersirat di wajah beliau, tak pernah putus harapan untuk menanti kedatangan anak-anak tercinta dan kembali berkumpul bersama pada lebaran tahun ini. Namun, untuk kesekian kalinya pula beliau harus merayakan hari lebaran seorang diri ditengah derasnya gemuruh angin yang menerbangkan pasir Parangtritis.

Masih banyak lagi keadaan-keadaan yang lebih menyedihkan, masih beribu-ribu orang-orang tua yang sudah renta menantikan kedatangan anak cucu mereka tanpa kepastian, tinggal sendiri bahkan dicampakkan oleh keluarganya.

Keesokan harinya kucoba menyejukkan pikiran ini dengan menyusuri keindahan sawah yang mulai menguning dan siap untuk dipanen. Namun, pemandangan itu agak sedikit mengalihkan duniaku, betapa tidak, hampir semua ladang dan area persawahan dipenuhi oleh para ksatria renta yang sudah rapuh dimakan usia bahkan para buruh angkutnya pun adalah para srikandi yang sudah terlihat kian membungkuk dan sepuh. Lantas, dimanakah para pemuda-pemudi desa?? Dimanakah peran pemuda dalam proses pembangunan desa?? Apakah ini potret gambaran kehidupan masyarakat desa?? Sungguh ini fenomena yang menyedihkan dan terjadi di sekitar kita. Inilah fakta yang terjadi di Negara Indonesia pada saat ini.

Sedangkan pemuda-pemudi desa sebagai penerus yang diharapkan untuk dapat melanjutkan tradisi budaya, kehidupan bermasyarakat di desa, lebih sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat bahkan lebih banyak yang memilih untuk merantau ke Jakarta yang notabene merupakan kota yang penuh perantau dengan tujuan ingin memperbaiki dan memperoleh penghidupan yang layak, namun kenyataannya tidak semua berjalan dengan mulus, tetapi berakibat pada tindak kriminalitas yang semakin tinggi. Bahkan tak kalah banyaknya pula yang lebih memilih menjadi TKI maupun TKW di negara orang meskipun kita telah mengetahui gambaran dari nasib-nasib mereka di negeri orang.

Maka dari itu, kita sebagai pemuda-pemudi Indonesia, semoga dengan pengalaman yang saya alami ini dapat menjadi gambaran dan potret sosial sebagai media cermin kehidupan kita agar menjadi diri yang lebih baik dan menghormati orang tua, karena suatu negara maju akan tercipta jika para pamuda dan pemudinya berbakti kepada orang tua.